what time is't???

Selasa, 07 Juni 2011

Review 4

Judul :ALTERNATIF MODEL PERAN SERTA MASYARAKAT UNTUK MEWUJUDKAN PEMERINTAHAN DAERAH YANG BERSIH DARI KKN (Studi Pendahuluan terhadap Peraturan Perundangan yang Mengatur Peran Serta Masyarakat)

Penulis : MOKH. NAJIH dan FIFIK WIRYANI

Latar Belakang Penelitian : Tahapan kajian ini merupakan studi pendahuluan. Dalam tahapan ini dilakukan dengan identifikasi dan inventarisasi pengaturan partisipasi masyarakat dalam berbagai peraturan perundang-undangan, peraturan perundang-undangan tingkat pusat dan daerah yang terkait kebijakan pembangunan dan peran serta masyarakat dalam pembangunan dan upaya perwujudan pemerintahan yang bersih dari KKN. Dalam tahap kedua dilakukan kajian empiris atas peran serta masyarakat dalam pemerintahan daerah, faktor-faktor pendukung dan penghambat serta efektivitas peran serta masyarakat dalam pembangunan daerah. Dengan kajian ini akan didapatkan sebuah model peran serta masyarakat dalampemerintahan guna mewujudkan Tri Bina Cita Kota Malang yang berbasis masyarakat dan bersih dari KKN. Dalam tahap ketiga akan dibuat formulasi (sekurangnya naskah raperda) untuk menjamin hak peran serta masyarakat dalam pembangunan daerah.

MASALAH YANG DITELITI :Fokus masalah pada penelitian tahap pertama, yaitu:

a. Bagaimanakah pengaturan peran serta masyarakat dalam pembangunan daerah di berbagai peraturan perundang-undangan nasional?

b. Bagaimanakah pengaturan peran serta masyarakat dalam pembangunan daerah diberbagai peraturan pada Pemerintah Daerah Kota Malang?

c. Apakah bentuk atau pola partisipasi masyarakat dalam pemerintahan daerah yang dirumuskan dalam peraturan-perundangan yang ada sudah memenuhi asas-asas pemerintahan yang baik dan bersih (“good governance dan client governance”)

Metode Penelitian : Adapun metode yang digunakan dalam pengumpulan data, untuk data Primer, data yang berkaitan langsung dengan obyek penelitian ini, yakni inventarisasi peraturan perundang-undangan nasional maupun lokal Kota Malang yang terkait dengan peran serta masyarakat, Laporan-laporan studi yang dilakukan LSM berkenaan dengan peran serta masyarakat dalam pembangunan daerah, serta hasil dokumentasi dari peran serta masyarakat dalam berbagai bentuk aktifitas di Kota Malang. Data primer dikumpulkan dengan cara mendatangi instansi pemerintah daerah dan DPRD Kota Malang, Kantor Pertanahan, penerbitan LSM dan kepustakaan maupun toko buku; Sedangkan data Skunder; data yang mendukung fokus kajian berupa pendapat-pendapat para pakar hukum, literatur perencanaan pembangunan dan peran serta masyarakat dan bahan pustaka pendukung lainnya, yang dilakukan dengan cara penelusuran pustaka, penelusuran lewat internet dan dokumentasi media. Data yang diperoleh akan disajikan disajikan secara deskriptif, dan disusun secara sistematis agar mudah dipahami. Adapun metode analisis yang dipakai adalahi content analisis (analisis isi) terhadap semua informasi data yang berkenaan dengan kajian normatif dengan data yang bersifat penerapan hukum empiris. Kemudian analisis kualitatif yang menggunakan metode induktif-abstraktif-logis dan sistematis.

Hasil Penelitan Dan Pembahasan :

  1. Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas Dari KKN

Dalam penyelenggaraan negara untuk mewujudkan cita-cita perjuangan Bangsa Indonesia, dan dalam rangka penyelamatan dan normalisasi kehidupan nasional sesuai tuntutan reformasi, dibutuhkan adanya semangat, kesamaan visi, persepsi dan misi para penyelenggara negara dan pemimpin pemerintahan yang sejalan dengan tuntutan hati nurani rakyat. Kebutuhan dan tuntutan tersebut menghendaki terwujudnya penyelenggara yang mampu menjalankan tugas dan fungsinya secara sungguh-sungguh, penuh rasa tanggung jawab, yang dilaksanakan secara efektif, efisien bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme sebagaimana amanat TAAP MPR-RI Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan bebas dari KKN.

Yang dimaksud dengan Penyelenggara negara adalah pejabat negara yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif atau yudikatif, dan pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku (pasal 1.1 UU 28 tahun 1999 tentang Penyelenggara Yang Bersih dan bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN).

Dalam rangka mewujudkan penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari KKN tersubut, maka ditetapkanlah asas-asas umum penyelenggaraan negara (pemerintahan) yang baik yaitu asas yang menjunjung tinggi norma kesusilaan, kepatutan, dan norma hukum. Adapun secara rinci, asas penyelenggaraan negara yang baik tersebut meliputi:

1). Asas Kepastian Hukum, yaitu asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggara negara

2). Asas Tertib penyelenggaraan negara, yaitu asas yang menjadi landasan keteraturan, keserasian dan keseimbangan dalam pengendalian penyelenggara negara

3). Asas kepentingan umum, taitu asas yang mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara aspiratif, akomodatif dan selektif.

4). Asas keterbukaan, yaitu asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan negara dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan dan rahasia negara

5). Asas proporsionalitas yaitu asas yang mengutamakan keseimbangan antara hak dan kewajiban penyelenggara negara

6). Asas profesionalitas, yaitu asas yang ,m,engutamakan keahlian yang berlandaskan kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku

7). Asas akuntabilitas, yaitu asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan penyelenggara negara harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (penjelasan pasal 3, UU No. 28 tahun 1999)

Dengan diterapkannya asas-asas tersebut, dimaksudkan agar korupsi, kolusi dan nepotisme dapat dihindarkan dan melahirkan pemerintahan yang baik dan bersih. Sedangkan yang dimaksud dengan korupsi disini adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang tindak pidana korupsi (UU No. 31/1999 jo UU No.20.2001)

Adapun yang dimaksud dengan kolusi adalah permufakatan atau kerjasama secara melawan hukum antar penyelenggara negara atau antara penyelenggara negara dan pihak lain yang merugikan orang lain, masyarakat dan atau negara. Nepotisme adalah setiap perbuatan penyelenggara negara secara melawan hukum yang menguntungkan kepentingan keluarganya dan atau kroninya di atas kepentikan masyarakat, bangsa dan negara. (pasal 1 angka 5 dan 6 UU 28/1999)

b. Pengaturan Peran Serta Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Negara

Pengaturan mengenai hak peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan negara, dimaksudkan agar dalam penyelenggaraan negara terjadi keseimbangan antara tugas dan kewenangan penyelenggara dengan hak dan kewajiban masyarakat atau awrga negara. Dalam kaitan itu telah ditemukan beberapa ketentuan yang mengatur tentang peran serta masyarakat dalam peraturan-perundangan mulai dari UUD 1945, UU Otonomi Daerah dan Peraturan Tingkat Daerah di Kota Malang, sebagai berikut ;

1). UUD 1945 setelah Amandemen

Dalam UUD 1945 ketentuan mengenai peran serta masyarakat dalam pemerintahan, diatur dalam bab WN dan Penduduk, dalam Pasal 27 ayat (1) disebutkan: “ Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjujung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Kemudian diatur pula dalam Bab HAM (Bab XA) dalam Pasal 28 C ayat (2) “ setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknua secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya”. Kemudian dalam pasal 28 F disebutkan bahwa “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk pengembangan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan dan mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”.

Dari beberapa ketentuan tersebut secara ekplisit maupun implisit memberikan jaminan konstitutuf kepada Warga Negara dan atau masyarakat dalam kedudukannya dipemerintahan maupun dalam pembangunan, bahwa masyarakat memiliki hak untuk berperan serta secara aktif dalam berbagai bentuk berdasarkan hak dan kemampuannya dalam pemerintahan.

2). TAP MPR

Berdasarkan TAP MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Perundang-Undangan, ketetapan MPR adalah salah satu sumber hukum yang memiliki kedudukan lebih tinggi dibanding undang-undang dan kedudukannya satu rtingkat dibawah konstitusi (hukum dasar), maka kedudukan TAP MPR adalah penting untuk dijadikan landasan hukum bagi penyelenggaraan negara dan pemerintahan. Ketetapan MPR, ketentuan mengenai pembentukan pemerintahan yang bersih dari KKN ditetapkan dalam TAP NO. XI/MPR/1998.

Dalam kosideran TAP tersebut, menyatakan bahwa: … bahwa dalam penyelenggaraan negara (di era Orde Baru) telah terjadi pemusatan kekuasaan, wewenang, dan tanggungjawab pada Presiden/Mandataris MPR, yang berakibat tidak berfungsinya dengan baik Lembaga Tertinggi Negara maupun Lembaga-Lembaga Tinggi Negara, serta tidak berkembangnya partisipasi masyarakat dalam memberikan kontrol sosial dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, bahwa dalam penyelenggaraan negara telah terjadi praktek-praktek usaha yang lebih menguntungkan sekelompok orang tertentu, menyuburkan korupsi, kolusi dan nepotisme yang melibatkan para pejabat negara dengan para pengusaha, sehingga merusak sendi-sendi penyelenggaraann negara dalam berbagai aspek kehidupan … (lihat Tap MPR III/MPR/1998, konsideran menimbang butir b dan d).

Ketetapan MPR tersebut, terdiri dari 6 Pasal, berkenaan dengan usaha memberikan dasar hukum terhadap terwujudnya pemerintahan yang bebas dari KKN diatur dalam pasal 2 dan 3 yang bunyi lengkapnya sebagai berikut :

Pasal 2 (1) penyelenggara negara, pada lembaga-lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif harus melaksanakan fungsi dan tugasnya dengan baik dan bertanggungjawab kepada masyarakat, bangsa dan negara; (2) untukm menjalankan fungsi dan tugasnya tersebut, penyelenggara negara harus jujur, adil, terbuka dan terpercaya serta mampu membebaskan diri dari praktek korupsi, kolusi dan nepotisme.

Kemudian Pasal 3 (1) untuk menghindari praktek-praktrek korupsi, kolusi dan nepotisme, sesorang yang dipercaya menjabat suatu jabatan dalam penyelenggaraan negara harus bersumpah sesuai dengan agamanya, harus mengumumkan dan bersedia diperiksa kekayaannya sebelum dan setelah menjabat; (2) Pemeriksaan atas kekayaan sebagaimana diatur dalam ayat (1) diatas dilakukan oleh suatu lembaga yang dibentuk oleh Kepala Negara yang keanggotaannya terdiri dari pemerintah dan masyarakat. (3) melakukan upaya pemberantasan tindak pidana korupsi dilakukan secara tegas dengan melaksanakan secara konsisten undang-undang tindak pidana korupsi.

Dari TAP MPR tersebut, secara tegas menyatakan bahwa gagasan untuk mebentuk pemerintahan yang bebas dari KKN adalah suatu harapan dan cita-cita seluruh rakyat dan masyarakat Indonesia. Dari ketentuan tersebut pada prinispnya bahwa setelah era reformasi ini diperlukan upaya;

a). Membentuk dan melahirkan pemerintahan yang anti KKN;

b). Para aparatur negara harus menjalankan fungsi dan tugasnya secara demokratis (jujur, adil, terbuka dan terpercaya);

c). Peningkatan partisipasi masyarakat dalam mengawasai dan mengontrol jalannya pemerintahan;

d). Menegakan hukum dan memperbaiki kekuarangan baik substansi hukum dan pelaksaan UU Tindak Pidana Korupsi.

Dengan demikian maka TAP MPR No. XI/MPR/1998 tersebut, telah memeprkuat keinginan dan memberikan landasan hukum yang cukup untuk upaya mewujudkan pemerintahan yang baik dan bebas dari KKN. Selain itu TAP tersebut juga memberikan dasar bagi peran serta masyarakat untuk berpartisipasi dan berperan mewujdukan pemerintahan yang baik dan bebas dari KKN.

3). Ketentuan dalam Undang-Undang

Dalam UU berkenaan dengan kajian ini, dapat dilihat ada sekitar 6 (enam) UU, yakni; UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, UU No. 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Anatara pemerintah Pusat dan Daerah dan UU No.28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Beas dari KKN, UU No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. UU No. 20 tahun 2001, kemudian UU No. 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Koprupsi.

Dalam UU 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah mengenai peran serta masyarakat dalam pemerintahan tidak secara langsung diatur tersendiri, tetapi dalam ketentuan menegnai tugas dan wewenang DPRD diantaranya disebutkan DPRD mempunyai wewenang untuk menampung dan menindak lanjuti aspirasi daerah dan masyarakat (Ps 18 (1.h). Kemudian dalam Pasal 22 (e), DPRD berkewajiban untuk; memperhatikan dan menyalurkan aspirasi, menerima keluhan, dan pengaduan masyarakat, serta memfasilitasi tindak lanjut penyelesaiannya”. Kemudian dalam Pasal 49 (g) dalam kaitannya dengan pemberhentian kepala daerah; “ jika mengalami krisis kepercayaan publik yang luas akibat kasus yang melibatkan tanggungjawabnya, serta keterangan atas kasus itu ditolak oleh DPRD.

Lain dari pada dalam penjelasan umum UU disebutkan bahwa; “.... hal yang mendasar dari uu ini adalah mendorong untuk memberdayakan masyarakat, menumbuhkan prakarsa dan kreativitas, meningkatkan peran serta masyarakat, mengembangkan peran fungsi DPRD, ......” mengembangkan daerah sebagai daerah otonom yang mempunyai kewenangan dan keleluasaan untuk membentuk dan melaksnakan kebijakan menurut prakarsa dan aspirasi masyarakat. (lihat penjelasan umum butir e)

Kemudian dalam UU 25/1999 tentang Peribangan Keuangan Pusat dan Daerah tidak ditemukan pengaturan mengenai bentuk peran serta masyarakat baik dalam isi UU maupun penjelasannya, seharusnya pembentuk undang-undang memberikan ruang bagi masyarakat untuk ikut berpartisipasi dalam masalah pelaksanaan perimbangan keuangan pusat dan daerah, sekurangnya dalam peran mengawasi atau memberikan masukan pada lembaga terkait.

Pengaturan mengenai peran serta masyarakat dalam pemerintahan, secara jelas diatur dalam UU No. 28/1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dari KKN, ketentuan itu secara tegas disebutkan dalam Bab VI dengan titel Peran Serta Masyarakat, dalam Pasal 8 disebutkan;

(1) Peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan negara merupakan hak dan tanggungjawab untuk ikut mewujdukan penyelenggaraan Negara yang bersih.

(2) Hubungan antara Penyelenggara Negara dan masyarakat dilaksanakan dengan berpegang teguh pada asas-asas umum penyelenggaraan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 (Ps.3 asas kepastian hukum, tertib penyelenggara negara, kepentingan umum, keterbukaan, proposionalitas, profesionalitas,dan akuntabilitas)

Kemudian Pasal 9 menegaskan mengenai bentuk peran serta masyarakat, dengan mengatur bahwa;

(1) Peran serta masyakarat sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 diwujudkan dalam bentuk;

a). hak mencari, memperoleh dan memberikan informasi tentang penyelenggaraan negara;

b). hak untuk memperoleh pelayanan yang sama dan adil dari penyelenggara negara;

c). hak menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggungjawab terhadap kebijakan penyelenggara negara; dan

d). hak memperoleh perlindungan hukum dalam hal;

1). Melaksnaakan haknya sebagaimana dimaksud dalam huruf a,b, dan c.

2). Diminta hadir dalam proses penyelidikan, penyidikan dan disidang pengadilan sebagai saksi pelapor, saksi dan saksi ahli, sesuai dengan peraturan-perundangan yang berlaku

(2) Ketentuan ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan uu dan dengan mentaati norma agama dan norma sosial lainnya.

(3) Ketentaun peran serta lebih lanjut akan diatur dalam PP

Dari ketentuan UU No. 28 tahun 1999 tersebut, dapat dikemukakan bahwa dalam penyelenggaraan negara masyarakat memiliki peran yang sangat penting, dan berdasarkan pasal 9 tersebut masyarakat memiliki hak, antara lain; hak atas informasi, hak atas pelayanan yang adil, hak menyampaikan saran atau pendapat dan hak untuk memperoleh perlindungan hukum.

Lebih lanjut UU No. 31/1999 jo UU No. 21/2001 tentang pemeberantasan Tindak Pidana Korupsi; secara tegas disebutkan dalam Bab V tentang Peran Serta masyarakat dalam Pasal 41 disebutkan bahwa :

a. Masyarakat dapat berperan serta membantu upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi.

b. Peran serta dimaksud diwujudkan dalam bentuk:

1). Hak mencari, memperoleh, dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi;

2). hak untuk memperoleh pelayanan dalam mencari, memperoleh dan memebrikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi kepada penegak hukum yang menangani tindak pidana korupsi;

3). hak menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggungjawab kepada penegak hukum yang menangani perkara tindak pidana korupsi;

4). hak untuk memeproleh jawaban atas pertanyaan tentang laporannya yang diberikan kepada penegak hukum dalam waktu paling lama 30 hari;

5). hak memeperoleh perlindungan hukum dalam melaksanakan butir a,b dan c, dalam proses peradilan, mencegah dan memebrantas Tindak Pidana Korupsi.

Sedangkan dalam UU No. 30 tahun 2002 tentang Komisi pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, tentang peran serta masyarakat tidak disebutkan secara langsung, namun dapat dicermati pada asas yang harus dijalankan oleh Komisi Pemebrantasan Korupsi, yang ditentukan dalam Pasal 5, yang bunyinya sebagai berikut: Pasal 5; Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, Komisi Pemberantasan Korupsi berasaskan pada: a. Kepastian hukum, b. keterbukaan, c. akuntabilitas, d. kepentingan umum; dan e. proposionalitas.

Dalam penjelasan pasal 5 disebutkan bahwa; Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan :

a. “kepastian hukum” adalah asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan dan keadilan dalam setiap kebijakan menjalankan tugas dan wewenang KPK.

b. “keterbukaan” adalah asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memeproleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang kinerja KPK dalam menjalankan tugas dan fungsinya;

c. “akuntabilitas” adalah asas yang menetukan bahwa setiap kehiatan dan hasil akhir kegiatan KPK harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

d. “kepentingan umum” adalah asas yang mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara aspiratif, akomodatif dan selektif;

e. “proposionalitas” adalah asas yang mengutamakan keseimbangan antara tugas, wewenang dan tanggungjaeab, dan keajiban KPK.

Berdasarkan asas-asas tersebut, memberikan prinsip-prinsip umum bagi KPK dalam upaya memberantas KKN. KPK harus pula memperhatikan keseimbangan dan peran masyarakat berdasarkan haknya sebagaimana diatur dalam UU No. 28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN.

4). Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP)

Berkenaan dengan pengaturan peran serta masyarakat dalam pemerintahan dan penyelenggaraan negara, produk hukum dalam tingkat PP, dapat ditemukan 2 ( dua) peraturan yakni dalam PP No. 68/1999 tentang Tata Cara pelaksanaan Peran serta Masyarakat dalam Penyelenggaraan Negara dan PP No. 71/2000 tentang Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Mencegah dan Memberantas TP Korupsi.

Dalam PP 68/1999 pasal 1 butir (2) memberikan pengertain bahwa yang dimaksud dengan peran serta masyarakat adalah peran serta aktif masyarakat untuk ikut serta mewujdukan Penyelenggara Negara yang bersih dan bebas dari KKN, yang dilaksnakan dengan mentaati norma hukum, moral, dan sosial yang berlaku dalam masyarakat. Sedangkan bentuk peran serta masyarakat diatur dalam Pasal 2 yang bunyi lengkapnya sebagai berikut;

Peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan negara untuk mewujudkan Penyelenggara Negara yang bersih dilaksanakan dalam bentuk :

a). hak mencari, memperoleh dan memberikan informasi tentang penyelenggaraan negara;

b). hak untuk memperoleh pelayanan yang sama dan adil dari penyelenggara negara;

c). hak menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggungjawab terhadap kebijakan penyelenggara negara; dan;

d). hak memperoleh perlindungan hukum dalam hal;

(1). Melaksnaakan haknya sebagaimana dimaksud dalam huruf a,b, & c.

(2). Diminta hadir dalam proses penyelidikan, penyidikan dan disidang pengadilan sebagai saksi pelapor, saksi dan saksi ahli, sesuai dengan peraturan-perundangan yang berlaku;

Ketentuan ayat (1) diatas dilaksanakan sesuai dengan UU yang berlaku dan dengan mentaati norma agama dan norma sosial lainnya. Bunyi ketentuan pasal 2 PP tersebut sama persis dengan bunyi ketentuan pasal 9 UU No. 28/1999 dengan demikian P tersebut mengimplementesikan prinsip-prinisp hak masyarakat dan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan negara secara penuh.

Kemudian dalam PP No. 71 tahun 2000 tentang Tata cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan pemberian Penghargaan dalam pencegahan dan Pemberanasan Tindak Pidana Korupsi, memberikan batasan bahwa yang dimaskud dengan Peran Serta Masyarakat adalah peran aktif perorangan, Organisasi Masyarakat atau LSM dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi (Pasal 1 butir (1) ).

Dalam PP tersebut diatur secara rinci tentang 3 (tiga) masyarakat; (1) hak dan tanggungjawab masyarakat dalam mencari, Memeproleh, Memberi Informasi, Saran dan Pendapat; (diatur dalam pasal 1 dan 2), (2) Hak dan Tanggungjawab Masyarakat Dalam Memperoleh pelayanan dan Jawaban dari Penegak Hukum (diatur dalam pasal 4) dan (3) Hak dan Tanggungjawab Masyarakat dalam memeproleh perlindungan hukum (diatur dalam pasal 5 dan 6).

Peneliti belum menemukan PP yang lain berkenaan dengan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan negara yang bebas dari KKN. Namun dari dua PP tersebut, secara umum dapat dikatakan bahwa pengaturan peran serta masyarakat mereduksi makna partisipasi masyarakat, karena PP tersebut mengatur secara sumir dan membatasi hak masyarakat dengan batasan-batasan yang tidak jelas. Disini dapat dilihat bahwa PP sebagai aturan pelaksana UU seharusnya mengatuer lebih teknis atau rinci mengenai pelaksanaan suatu pasal dalam UU, tetapi disini dapatdiketahui hanya mengabil secara leterluk bunyi pasal dalam UU sebagaimaa dalam PP No. 68/1999 yang mengabil pasal 9 UU No. 28/1999. PP tersebut juga seharunya memberikan pelaksanaan tentang bagaimana masyarakat melaksanakan haknya dalam partisipasi berkaitan dengan ketentuan menegnai harus mentaati UU, menaati norma agama dan norma sosial.

Penegasan masalah tersebut menjadi penting ketika pelaksaan di lapangan, karena dalam praktek bisa terjadi perbedaan pemahaman dan pemaknaan antara masyarakat dengan aparat penegak hukum mapun antar masyarakat sendiri. Maka disini terjadi pereduksian semangat, yang semula UU memberikan pengaturan yang lebih terbuka, smenetara PP memberikan pengaturan yang terbatas dan tidak sesuai dengan kedudukan PP itu sendiri dalam hiraki maupun fungsinya.

5). Peraturan Daerah di Kota Malang

Dalam kebijakan legislatif didaerah ternyata setelah dilakukan kajian terhadap produk perda yang dibuat sejak tahun 2001-2002 peneliti tidak menemukan peraturan daerah yang mengatur mengenai peran serta masyarakat dalam pemerintahan di daerah, terutama yang berkaitan dengan penanggulangan KKN.

Berdasarkan data yang diperoleh di Bagian Hukum Kota Malang, dalam kurun waktu tahun 2001 telah disahkan 20 Perda, dimana 6 perda mengatur tentang retribusi (berarti untuk membebani keuangan masyarakat untuk kepetningan PAD) 5 Perda tentang Pemerintahan dan APBD, 3 Perda tentang BUMD, 6 Perda tentang Pengendalian Lingkungan dan Kebersihan. Hanya ditemukan sekuranya Perda 15/2001 tentang Analisis Mengneai dampak Lingkungan (AMDAL) dalam Pasal 31 diatur mengenai hak masyarakat dan peran masyarakat dalam pembuatan AMDAL, Kemudian Perda No. 16/2001 tentang Pengendalian Pencemaran Air di Kota Malang, dalam perda ini juga mengatur tentang peran serta masyarakat dalam Pasal 4 yang secara umum mengatur hak masyarakat untuk memeproleh kualitas air yang baik dan hak masyarakat untuk berperan mengendalikan kualitas air dan Perda No. 18/2001 tentang Pembentukan Lembaga Pengembangan Masyarakat Kelurahan.

Berkenaan dengan fokus kajian ini, produk hukum yang cukup relefan dalam kaiannya dengan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan negara atau pemerintahan adalah Perda No. 18/2002 tersebut. Perda tersebut mengatur beberapa hal yang berkenaan dengan peran serta masyarakat pada tingkat kelurahan. Dalam Pasal 6, 7 dan 8 disbeutkan bahwa :

Kedudukan LPMK adalah; 1. sebagai mityra kerja pemerintah Kelurahan dibidang pembangunan fisik dan non fisik; 2. sebagai wadah partisipasi masyarakat dalam merencanmakan dan mengawasi pelaksanaan pembangunan; 3. lembaga yang bersifat lokal non politis dan secara organisasi berdiris sendiri. (pasal 6).

Sedangkan tugas pokok LPMK adalah ; (a) menyusun rencana pembangunan yang partisipatif, (b). menggerakkan swadaya gotong royong masyarakat dan (c). mengawasi pelaksanaan dan pengendalian pembangunan. Hasil kerja LPMK dipertanggungjawabkan kepada masyarakat lewat Rukun warga di Kelurahan setempat ( Pasal 7).

Kemudian fungsi LPMK; (a) penanaman dan pemupukan rasa persatuan dan kesatuan masyarakat Kelurahan; (b) pengkoordinasian perencanaan pembangunan; (c). perencanaan kegiatan pembangunan secara partisipatif dan terpadu oleh masyarakat; (d) penggalian dan pemanfaatan sumber daya kelembagaan untuk pembangunan di Kelurahan (Pasal 8)

Berdasarkan kedudukan, tugas fungsinya tersebut, LPMK juga memiliki hak dan kewajiban sebagaimana diatur dalam pasal 12, yang menyatakan bahwa LPMK mempunyai hak (a). mengusulkan rencana pembangunan kepada pemerintah Kelurahan; (b). mengusulkan anggaran kepada Pemerintah Kelurahan setempat; (c) mengawasai pelaksanaan pembangunan. Sedangkan kewajiban LPMK adalah; (a). menyusun program internal LPMK; (b). mengawasi pelaksanaan pembangunan yang disetujui oleh Walikota; (c). menumbuhkan terwujudnya kehidupan masyarakat untuk menggerakkan kegotong- royongan, swadaya dan partisipasi masyarakat; (d) memelihara dan melestarikan hasil-hasil pembangunan; (e). menyampaikan laporan tertulis mengenaio kegiatan yang dilaksnakan kepada Pemerintah Kelurahan.

Kemudian berdasarkan data kumpulan Perda tahun 2002, terdapat 18 Perda yang disahkan dan dinyakan berlaku, namun dari 18 Perda tersebut 12 mengatur tentang retribusi dan Pajak, 3 Perda tentang APBD, 1 Perda tentang BUMD, 2 Perda tentang Pemerintahan. Berdasarkan telaah yang dilakukan, Perda yang berkenaan atau dapat dikategorikan sebagai peraturan yang berkaiatn dengan partisipasi masyarakat dalam peneyelenggaraan negara/pemerintahan, adalah Perda No. 4/2002 tentang Kedudukan, Tugas dan Fungsi Susunan Organisasi Tata Kerja RT dan RW Kota Malang, namun dalam ketentuan didalamnya tidak mengatur secara jelas tentang fungsi RT/RW kepada pemerintahan baik tingkat Kelurahan maupun Kota.

Berdasarkan analisis terhadap beberapa produk Peraturan Daerah yang ada di Kota malang tersebut, menunjukkan bahwa peran serta masyarakat dalam kaitan dengan upaya untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih dari KKN belum ada aturan yang khusus mengatur tentang hal tersebut. Adapun bentuk-bentuk peran serta masyarakat yang tersebut dalam aturan yang sudah ada hanyalah sebatas pada partisipasi dalam pembangunan dan bersifat top down (dari atas), disini masih sangat kuat ada kesan bahwa Pemerintah Daerah adalah lembaga yang memiliki otorityas untuk mengatur masyarakat atau rakyat. Perda yang ada membatasi peran sertanya untuk digerakkan dalam pembangunan di lingkuingannya masing-masing, khususnya di tingkat Kelurahan, RT dan RW.

Dengan demikian maka, dapat dikatakan bahwa pada tingkatan pemerintah daerah khususnya di kota Malang belum ada politik hukum yang memadai untuk melakukan upaya pemberantasan KKN dan mewujudkan prinsip-prinsip pemerintahan yang baik, khususnya yang berkenaan dengan partisipasi masyarakat untuk turut melakukan kontrol dan pengawasan pembangunan.

1. KESIMPULAN DAN SARAN

Akhirnya dari pembahasan ini dapat diambil beberapa kesimpulkan antara lain ;

1. Sebagaimana telah dijelaskan dalam bagian sebelumnya bahwa dalam upaya untuk mewujudkan penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari KKN tersubut, maka ditetapkanlah asas-asas umum penyelenggaraan negara (pemerintahan) yang baik yaitu asas yang menjunjung tinggi norma kesusilaan, kepatutan, dan norma hukum. Adapun secara rinci, asas penyelenggaraan negara yang baik tersebut meliputi: (a). Asas Kepastian Hukum, (b) Asas Tertib Penyelenggaraan negara, (c) Asas Kepentingan Umum; (d) Asas Keterbukaan; (e). Asas Proporsionalitas; (f) Asas Profesionalitas; dan (g). Asas Akuntabilitas.

2. Jika diamati dari prinsip-prinsip pemerintahan yang baik, tersebut, sesungguhnya telah termuat dalam prinsip konstitutif (state ide) dan kebijakan legislatif telah diwujudkan dalam beberapa produk hukum baik pada tingkat UUD 1945, TAP MPR maupun Undang-Undang;

3. Sedangkan dalam Peraturan Pemerintah masih terjadi pereduksian makna partisipasi, yang betrdampak pada potensi timbulnya perbedaan penafsiran di lapangan praktek; Sedangkan pengaturan pada tingkat pemerintah daerah atau Perda (khususnya di Kota Malang) belum ditemukan aturan pada tingkat Perda yang mengatur secara khusus tentang partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dari KKN.

4. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa prinsip-prinsip pemerintahan yang baik tersebut belum terimplementasi secara limitatif dalam peraturan tingkat daerah, dengan kondisi ini sangat memungkinkan terjadi distorsi dalam pemahaman dan dalam pelaksanaannya. Kecenderungan seperti itu dimungkinkan, mengingat pola hubungan birokrasi pemerintahan di daerah dengan masyarakat masih ada gejala tidak berubah (tetap) setelah era otonomi. Dimana birokrasi berprilaku seperli orang yang mengatur sedangkan masyarakat adalah yang diatur (hubungan patronase dan top down).

5. Diperlukan pengaturan yang lebih memadai untuk menampung bentuk-bentuk partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pemeringtahan yang baik, serta pengaturan yang mampu memberikan ruang bagi pengembangan model-model partisipasi masyarakat dalam pemerintahan untuk terwujudnya pemerintahan ang baik dan bersih dari KKN.

Adapun Saran-Saran yang dapat diberikan;

    1. Bahwa semangat reformasi untuk mewujdukan pemerintahan yang bersih dan bebas dari KKN masih memerlukan perjuangan yang panjang, dan harus terus diperjuangan secara terus-menerus lewat berbagai bentuk dan kelompok masyarakat;
    2. Bahwa pada tingkat Pemerintah Daerah diperlukan peraturan yang mengatur bagaimana mekanisme peran serta masyarakat dalam mewujudkan penyelenggaraan negara yang baik, sesuai dengan potensi masyarakat dan bentuk partsisipasi yang dapat diteruima dan dilakukan masyarakat;

c. Perlu dilakukan kajian yang lebih mendalam kaitannya dengan bentuk-bentuk kelembagaan masyarakat yang telah ada, apakah dapat digunakan sebagai sarana untuk menampung aspirasi, melakukan tugas pengawasan dan menjadi lembaga yang benar-benar menampung aspirasi masyarakat, khsususnya peran dan tugas LPMK, RW dan RT.

---emen--

Hak Atas Tanah

Definisi hak atas tanah adalah hak yang memberi wewenang kepada seseorang yang mempunyai hak untuk mempergunakan atau mengambil manfaat atas tanah tersebut. Hak atas tanah berbeda dengan hak penggunaan atas tanah.


Ciri khas dari hak atas tanah adalah seseorang yang mempunyai hak atas tanah berwenang untuk mempergunakan atau mengambil manfaat atas tanah yang menjadi haknya. Hak–hak atas tanah yang dimaksud ditentukan dalam pasal 16 jo pasal 53 UUPA, antara lain:

1. Hak Milik

2. Hak Guna Usaha

3. Hak Guna Bangunan

4. Hak Pakai

5. Hak Sewa

6. Hak Membuka Tanah

7. Hak Memungut Hasil Hutan

8. Hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas yang ditetapkan oleh undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara sebagaimana disebutkan dalam pasal 53.


Dalam pasal 16 UU Agraria disebutkan adanya dua hak yang sebenarnya bukan merupakan hak atas tanah yaitu hak membuka tanah dan hak memungut hasil hutan karena hak–hak itu tidak memberi wewenang untuk mempergunakan atau mengusahakan tanah tertentu. Namun kedua hak tersebut tetap dicantumkan dalam pasal 16 UUPA sebagai hak atas tanah hanya untuk menyelaraskan sistematikanya dengan sistematika hukum adat. Kedua hak tersebut merupakan pengejawantahan (manifestasi) dari hak ulayat. Selain hak–hak atas tanah yang disebut dalam pasal 16, dijumpai juga lembaga–lembaga hak atas tanah yang keberadaanya dalam Hukum Tanah Nasional diberi sifat “sementara”. Hak–hak yang dimaksud antara lain :

1. Hak gadai,

2. Hak usaha bagi hasil,

3. Hak menumpang,

4. Hak sewa untuk usaha pertanian.

Hak–hak tersebut bersifat sementara karena pada suatu saat nanti sifatnya akan dihapuskan. Oleh karena dalam prakteknya hak–hak tersebut menimbulkan pemerasan oleh golongan ekonomi kuat pada golongan ekonomi lemah (kecuali hak menumpang). Hal ini tentu saja tidak sesuai dengan asas–asas Hukum Tanah Nasional (pasal 11 ayat 1). Selain itu, hak–hak tersebut juga bertentangan dengan jiwa dari pasal 10 yang menyebutkan bahwa tanah pertanian pada dasarnya harus dikerjakan dan diusahakan sendiri secara aktif oleh orang yang mempunyai hak. Sehingga apabila tanah tersebut digadaikan maka yang akan mengusahakan tanah tersebut adalah pemegang hak gadai. Hak menumpang dimasukkan dalam hak–hak atas tanah dengan eksistensi yang bersifat sementara dan akan dihapuskan karena UUPA menganggap hak menumpang mengandung unsur feodal yang bertentangan dengan asas dari hukum agraria Indonesia. Dalam hak menumpang terdapat hubungan antara pemilik tanah dengan orang lain yang menumpang di tanah si A, sehingga ada hubungan tuan dan budaknya. Feodalisme masih mengakar kuat sampai sekarang di Indonesia yang oleh karena Indonesia masih dikuasai oleh berbagai rezim. Sehingga rakyat hanya menunngu perintah dari penguasa tertinggi. Sutan Syahrir dalam diskusinya dengan Josh Mc. Tunner, pengamat Amerika (1948) mengatakan bahwa feodalisme itu merupakan warisan budaya masyarakat Indonesia yang masih rentan dengan pemerintahan diktatorial. Kemerdekaan Indonesia dari Belanda merupakan tujuan jangka pendek. Sedangkan tujuan jangka panjangnya adalah membebaskan Indonesia dari pemerintahan yang sewenang–wenang dan mencapai kesejahteraan masyarakat. Pada saat itu, Indonesia baru saja selesai dengan pemberontakan G 30 S/PKI. Walaupun PKI sudah bisa dieliminir pada tahun 1948 tapi ancaman bahaya totaliter tidak bisa dihilangkan dari Indonesia. Pasal 16 UUPA tidak menyebutkan hak pengelolaan yang sebetulnya hak atas tanah karena pemegang hak pengelolaan itu mempunyai hak untuk mempergunakan tanah yang menjadi haknya. Dalam UUPA, hak–hak atas tanah dikelompokkan sebagai berikut :

1.Hak atas tanah yang bersifat tetap, terdiri dari :

1. Hak Milik

2. Hak Guna Usaha

3. Hak Guna Bangunan

4. Hak Pakai

5. Hak Sewa Tanah Bangunan

6. Hak Pengelolaan

2.Hak atas tanah yang bersifat sementara, terdiri dari :

1. Hak Gadai

2. Hak Usaha Bagi Hasil

3. Hak Menumpang

4. Hak Sewa Tanah Pertanian

Pencabutan Hak Atas Tanah Maksud dari pencabutan hak atas tanah adalah pengambilan tanah secara paksa oleh negara yang mengakibatkan hak atas tanah itu hapus tanpa yang bersangkutan melakukan pelanggaran atau lalai dalam memenuhi kewajiban hukum tertentu dari pemilik hak atas tanah tersebut. Menurut Undang–undang nomor 20 tahun 1961 tentang pencabutan hak atas tanah dan benda–benda diatasnya hanya dilakukan untuk kepentingan umum termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama milik rakyat merupakan wewenang Presiden RI setelah mendengar pertimbangan apakah benar kepentingan umum mengharuskan hak atas tanah itu harus dicabut, pertimbangan ini disampaikan oleh Menteri Dalam Negeri, Menteri Hukum dan HAM, serta menteri lain yang bersangkutan. Setelah Presiden mendengar pertimbangan tersebut, maka Presiden akan mengeluarkan Keputusan Presiden yang didalamnya terdapat besarnya ganti rugi untuk pemilik tanah yang haknya dicabut tadi. Kemudian jika pemilik tanah tidak setuju dengan besarnya ganti rugi, maka ia bisa mengajukan keberatan dengan naik banding pada pengadilan tinggi.